PDF Cetak E-mail
KUMALA (65) harus dirontgen untuk memastikan penyakit yang dideritanya. Hanya saja ia masih ragu untuk melakukannya. Ada kekhawatiran untuk mengikuti perintah dokter, mengingat efek sinar itu sering dianggap berbahaya. “Katanya kalau kita sering rontgen bisa menyebabkan kanker,” ujarnya.
Apa yang dikhawatirkan Kumala juga sering kita alami. Menurut dr Hengky Indradjaja, kekhawatiran itu memang beralasan. Sinar X yang digunakan untuk foto roentgen merupakan sinar yang dapat menyebarkan radiasi. Namun, manfaat yang didapat dari teknologi itu lebih banyak ketimbang risikonya. “Jadi jika dilakukan dengan benar dan untuk kepentingan medis, tidak masalah,” tegasnya.
Akan tetapi harus diingat bahwa permintaan foto rontgen harus berasal dari dokter yang menangani. “Misalnya telah mempertimbangkan masak-masak manfaat dan kerugiannya,” jelas Hengky.
Ia menjelaskan, saat ini riset mengenai penggunaan sinar radiasi tersebut terus dilakukan untuk memperkecil efek negatif dari sinar radiasi, termasuk sinar X (sinar rontgen).
Ditambahkan, teknologi rontgen sudah digunakan lebih dari seabad lalu. Tepatnya sejak 8 November 1890, ketika fisikawan terkemuka berkebangsaan Jerman, Conrad Roentgen, menemukan sinar yang tidak dikenalinya, yang kemudian diberi label Sinar X. Sinar ini mampu menembus bagian tubuh manusia, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memotret bagian-bagian dalam tubuh, yang kemudian dijadikan sebagai alat diagnosa untuk dasar pengobatan.
Teknologi sinar rontgen pun dianggap sebagai satu penemuan yang mampu membantu banyak orang, terutama untuk menganalisis dan mendiagnosis suatu kondisi demi penyembuhan suatu penyakit. Namun, radiasi yang ditimbulkan dalam proses penyinaran rontgen disinyalir mengandung kekuatan radioaktif yang bisa berbahaya.
Karena itu, sinar X yang ‘ditembakkan’ untuk memotret bagian dalam organ tubuh seharusnya benar-benar dalam komposisi tepat. “Jika tidak, teknologi ini justru bisa memicu kanker, sebab fungsi dari Sinar X adalah mematikan pertumbuhan atau malah memicu pertumbuhan sel. Nah, jika pertumbuhan sel tersebut liar, itulah yang disebut dengan kanker,” ujar Hengky.
Selain itu, penggunaan sinar rontgen yang terlalu sering atau dengan dosis besar, juga berpengaruh pada fungsi seksual.
Untuk itu, walaupun pengunaan sinar rontgen sekarang sudah melalui kajian mendalam, untuk meminimalisasi dampak negatif penggunaan sinar rontgen, prosedur tetap harus dilalui dengan baik. “Untuk meminimalisasi efek radiasinya,” ujar Hengky.
Yang juga tidak kalah penting, jangan biasakan setiap ada gejala penyakit selalu minta foto rontgen. Foto rontgen yang terlalu sering juga tidak baik.
Bagaimana rontgen yang harus dilakukan untuk balita? Mantan Kepala Dinas Kesehatan ini mengatakan, jika memang harus dilakukan karena indikasi medis, maka harus dilakukan. Hanya saja, memang efek radiasi pada balita memang akan lebih besar dibandingkan orang dewasa. Karena sel-sel pada balita masih muda dan dalam masa pertumbuhan.
Pada anak-anak, biasanya dokter jarang mengajurkan untuk dilakukan foto rontgen. Kecuali untuk tujuan operasi ataupun karena hasil tes lainnya tidak menunjukkan hasil sehingga harus dilakukan. “Pada kasus TBC pada anak, biasanya tes mantub dulu. Foto rontgen dilakukan jika memang ada indikasi. Termasuk misalnya jika ada patah tulang atau mau operasi,” jelasnya.(*)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment